07 Juni 2014

Mengejar Arswendo di Area Balung Buto


Percaya tidak percaya, kadang kesialan bisa mendatangkan kejutan. Penderitaan tidak selamanya menyakitkan. Hidup adalah perjuangan. Kepedihan adalah awal kebahagiaan. (Eh, kok kalimatnya gini banget? Sori, kebanyakan nonton serial Mahabharata). Intinya, di hari Senin  saat pulang dari kantor, saya kena sial. Ban sepeda motor yang biasanya menopang body ini dengan anggun, tiba-tiba bocor. Mana maghrib, perut menjerit, ditambah bau badan yang berubah legit karena belum mandi. Bikin keki! Terpaksa melipir cari tambal ban terdekat. 

Disela-sela kekhusyukan mengamati abang bengkel yang sedang berkreasi dengan obeng dan perkakasnya (halah), iseng saya ngecek timeline twitter. Membaca twit dari salah satu penulis senior favorit saya, Arswendo Atmowiloto, saya memperoleh secuil informasi (iya, benar-benar minim soalnya) bahwa mas Wendo ada agenda ke Sragen pada hari Kamis (5/06). Tetapi belum jelas diundang dalam rangka apa.

Whoaaaa. Rasanya bagai diseruduk becak yang digenjot Bruce Willis. Kagetnya nampol! Selama ini saya ngidam ketemu mas Wendo. Biasa, pengen minta tanda tangan di buku koleksi saya. Spontan saya mention ke akun mas Wendo (@arswendo_atmo) untuk menanyakan kejelasan hubungan acara tersebut. 

Twit yang saya kirim dengan nafsu menggebu
Oke. Jadi masih ada waktu dua hari untuk cari info lokasi keberadaan beliau
(berasa jadi agen CIA :p)



Besoknya, saya mulai berburu informasi melalui beberapa SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) Kabupaten Sragen yang saya 'curigai' (uhuk-uhuk) menjadi pihak pengundang Arswendo. Gambling juga sih. Mulai dari bagian Humas & Protokol, Tehnopark Sragen, Kantor Perpusda, Dinas Pendidikan, hingga Dinas Pariwisata, Kebudayaan, dan Olahraga (Disparbudor)  tidak luput dari pelacakan. Akhirnya diperoleh informasi bahwa Arswendo Atmowiloto diundang oleh Dewan Kesenian Daerah Sragen (DKDS) bekerjasama dengan Disparbudor untuk menjadi narasumber dalam seminar "Peradaban Manusia Desa". Sesi seminar merupakan salah satu dari rangkaian acara "Taman Srawung Seni Segara Gunung 2". yang dihelat selama dua hari, 4-5 Juni 2014, di Museum Fosil Sangiran Sragen. Fyi, masyarakat sekitar sering menyebut fosil manusia dan binatang purba ini dengan istilah balung buto (tulang raksasa).


Perjuangan sudah usai? Ooh, siapa bilang? Jangan senang dulu, anakku. Saya masih harus memastikan bahwa saya bisa masuk seminar tanpa diusir panitia, dong. Untung ada teman satu kantor yang punya contact person panitia. Dengan metode SSI (Spik-Spik Iblis :p) level intermediate, saya menanyakan bagaimana cara memperoleh undangan seminar. Ternyata, info dari  panitia, walaupun peserta yang diundang adalah para tenaga pendidik Sekolah Dasar se-Kabupaten Sragen, seminar terbuka untuk umum. Namun tentu saja disesuaikan dengan kapasistas seat yang tersedia. Jadi saya tinggal datang saja, register, dan bisa deh mengikuti sesi mas Wendo. Huuuffh...lega!

Dan hari Kamis pagi, berangkatlah saya dan salah satu teman (yang berhasil diangkut paksa) menuju Museum Sangiran. Perjalanan memakan waktu satu jam karena terhambat kemacetan akibat pengecoran jalan. 



Target (pria yang sedang berdiri)  masih belum menyadari akan jadi korban 'penculikan'
Hohoho *senyum culas*

Sampai di lokasi, seminar sudah berlangsung selama 20 menit. Hampir semua seat telah terisi. Saya dipandu salah satu panitia untuk duduk di barisan nomor dua dari depan yang kebetulan tersisa satu kursi. Lumayan...

Arswendo Atmowiloto dan Mbah Prapto (dari Padepokan Lemah Putih) sebagai pamateri








Para bapak guru :)



Dan yang ini ibu-ibu guru ^^

Oh iya, tempat duduk memang dibedakan antara peserta pria dan wanita. Yah mungkin untuk menghindari fenomena  transgender yang lagi 'trend' saat ini. Hehehe. Sebagai peserta 'tidak resmi', saya harus pasrah tidak kebagian handout materi seminar apalagi snack. Sudah out of stock, pemirsa.  Hiks...! Ah, ga papa. Sebagai wanita kuat yang telah mendapatkan imunisasi lengkap, saya harus semangat hingga akhir sesi dooong. 

Seminar berlangsung selama 3 jam dan berakhir tepat pukul 12.00 siang. Saat menutup seminar, moderator memberikan kesempatan kepada para peserta untuk berfoto bersama Arswendo. Hal yang tidak mungkin saya sia-siakan. Lha wong ini memang tujuan saya. 

Aduh, benar kata orang-orang, mas Wendo ini sangat ramah dan humble. Beliau bahkan masih ingat twit saya. Dan saat saya mengeluarkan beberapa buku karangan beliau untuk ditandatangani, mas Wendo (saya kadang memanggil beliau dengan 'Om' :p) terlihat surpise dan spontan berucap, "Wah, banyak sekali. Terima kasih, Andien". Wuwuwuwu...bahagianya.


Buku karya Arswendo yang saya bawa ke TKP. Belum banyak sih sebenernya...


Lagi enak-enaknya small talk dengan mas Wendo, mendadak terjadi chaos. Para peserta tiba-tiba meringsek ke depan dan mendorong saya dengan 'brutal'. Mereka berebut minta foto. Malah, rombongan ibu-ibu terlihat adu selfie. Aksi saling dorong pun tak terelakkan. Haduuuh, saya hanya bisa pasrah tergusur dan memilih menunggu di pojok stage. Sementara buku-buku saya  (yang telah ditandatangani mas Wendo) berserakan di mana-mana. Huhuhu...!

Salah satu panitia yang mungkin terenyuh (atau malah geli?) melihat saya, spontan mendekati dan berbisik, "Mbak, sing enom ngalah sik ya... " (Mbak, yang muda mengalah dulu ya...). Bhuahahaha.... Iya, deh. Iya...


Detik-detik sebelum saya didorong hingga nyusruk ke pojokan :(


Dan, benar saja, setelah menunggu sekitar 20 menit, 'huru-hara' pun usai. Mas Wendo bahkan membantu menata buku-buku saya yang berceceran (aah...co cuiiit). Finally, saya bisa berfoto dengan leluasa. Ihiiiy...


Thanks God! Terkabul deh.



Ini corat-coret mas Wendo di buku favorit saya \0/

Keluarga Cemara (cetakan baru)


Detektif Cilik IMUNG (Buku 01)





 Mas Johny (moderator) yang berbaik hati motretin saya. Bhihihik




** Makasih buat Mas Anang, Mas Ridwan, Cik Yustina, Mas Gustril (team UPTPK), Mbak Mira (Humas), Mbah Pine (DKDS), Mas Johny (Pariwisata), dan Klepon tersayang. I love you, gaesss!











26 Mei 2014

Motivasi Dari Pencuri Mimpi






Dalam scope dan kondisi apapun, setiap kita pasti punya impian. Baik itu impian di masa lampau, impian sesaat, impian spontan, ataupun impian besar yang sulit diraih. Bermimpi memang gratis, tapi bukan berarti kita memilih skeptis. Dibutuhkan doa dan usaha untuk meretas mimpi menjadi realita.



Sebagian orang memilih menyimpan mimpi untuk dirinya sendiri. Jamak disebut sebagai impian terpendam. Ekspektasi (yang dianggap) berlebihan dikuatirkan berujung kekecewaan. Kalau hanya kita yang 'mencatat' mimpi, minimal pil pahit akan kita telan sendiri. Dengan pemahaman simpel, 'lebih baik saya yang kecewa. daripada mengecawakan banyak orang'. Dan saya pun sering memilih untuk menyimpan mimpi saya...sendirian. 



Tidak dipungkiri, kita membutuhkan motivasi untuk meraih mimpi. Membutuhkan 'pendukung' untuk mewujudkan harapan. Jika mimpi disimpan sendiri, dari mana kita mendapatkan dukungan dari sekitar?



Disadari atau tidak, lingkungan adalah motivator terbaik untuk membantu kita mewujudkan mimpi. Tentu dengan segala aspek pro dan kontranya. Tidak semua orang mendukung mimpi kita, sebagian sering mencibir bahkan, sengaja atapun tidak sengaja, under estimate usaha kita. 


Pernah terjebak dalam kepungan para 'penggoyang/ pencuri mimpi'? Mengapa justru beberapa diantaranya adalah orang dekat? Jangan risau karena justru merekalah donatur motivasi yang sesungguhnya. Ajaib ya...

Mau contoh kecil? Ini yang pernah saya alami....





Saat musim recruitment CPNS beberapa tahun lalu:
Saat saya udah stuck bekerja di perusahaan swasta (a.k.a gagal meningkatkan omset penjualan :p), terbersit keinginan untuk bekerja di instansi pemerintah. Maka berbondong-bondonglah saya dan teman-teman kantor untuk (diam-diam) melengkapi berkas persyaratan pendaftaran CPNS. Jauh-jauh hari saya sudah membeli beberapa buku persiapan tes CPNS yang berisi latihan soal-soal pengetahuan umum, matematika, psikotes, kewarganegaraan, dll. Saat break makan siang, minimal 15 menit saya membiasakan membaca materi  dari buku-buku tersebut agar terbiasa menghadapi variasi soal tes nanti. Ada seorang teman (partner kerja) yang entah kenapa justru tidak merespon positif niat saya untuk mengikuti tes CPNS. Beberapa kalimat yang masih saya ingat, seperti ini:


"Ngapain ikut tes CPNS? Udah susah-susah, yang keterima palingan yang puya koneksi atau punya duit lebih"

"Gue udah berkali-kali ikut tes gituan, sampai pantukhir juga. Tetep aja yang diterima nama-nama titipan!"

Saya memilih (pura-pura) cuek dan tidak mendengarkan. Bagi saya, hidup haruslah diperjuangkan dan kita adalah orang yang paling bertanggungjawab atas nasib kita sendiri. Pilihan dan passion orang lain terhadap profesi yang ditekuni wajib dihargai. Dan, ketika saya lolos tahapan demi tahapan tes hingga resmi diterima sebagai CPNS (alhamdulillah tanpa KKN), teman saya sama sekali tidak mengucapkan selamat apalagi mengeluarkan komentar. Kok gitu ya...???



Saat memutuskan untuk menikah dengan seorang tentara:
Saya kurang paham kenapa saat itu, sekitar tahun 2010, profesi tentara dianggap sebagai (maaf) sesuatu yang tidak menjanjikan dalam bidang finansial. Memilih tentara sebagai suami sungguh tidak bergengsi. Menikah dengan tentara artinya harus rela menjalani kehidupan yang sangat sederhana, apa adanya, dan seumur hidup tinggal di asrama. Komentar itulah yang banyak saya dengar saat lingkungan mengetahui saya dekat dengan seorang tentara. Banyak yang menyayangkan pilhan saya (terutama teman-teman senior). Katanya lebih baik saya menikah dengan pengusaha atau profesi lain yang 'lahan' nya lebih basah (mungkin saya disuruh menikah dengan ikan pesut kali ya, biar basah terus!? Hehehe)

Jujur, saya sempat kesal dan sensi. Kenapa disaat saya ingin bahagia, banyak yang mencoba mengaburkannya? Meski banyak teman yang melemahkan, namun masih banyak sahabat yang menguatkan. Saya tetap mantap menikah dengan pria pilihan Allah dan (tentunya) atas restu orang tua. 

Beberapa bulan sebelum prosesi lamaran, angin segar berhembus. Mungkin semacam oase atas kekesalan saya pada komentar para pencuri mimpi (tsaah). Pemerintah mulai memberikan tambahan penghasilan berupa  tunjangan profesionalisme /remunerasi kepada anggota TNI diluar gaji pokok tiap bulannya(lumayan, ada yang diharapkan di tiap akhir bulan hehehe). Walaupun belum 100%, tapi tetap wajib disyukuri. Berapapun penghasilan suami, istri harus qana'ah. Yang penting halal, berkah, dan insha Allah barokah. Saya memegang prinsip, harta bisa dicari, tapi kebahagiaan ialah hal paling hakiki. Dan taraf kebahagiaan itu relatif. Ukurannya tidak sama. Bermacam saran yang terdengar menghambat, walau terseok-seok, saya coba abaikan.  

Ibunda sering berpesan, "Jangan bermental tempe. Jika kamu sudah mengambil keputusan, selama tidak melanggar norma dan perintah Allah, tetaplah bergerak, go ahead, dan berjuang sampai tercapai". Saya bersyukur dibesarkan dalam lingkungan yang sangat demokratis dan saling mendukung satu sama lain.



Dan selama tiga tahun menikah hingga saat ini, meskipun hidup sederhana namun alhamdulillah, dengan 'kekuatan sendiri' dan tanpa mengandalkan fasilitas dari orang tua, kami secara bertahap bisa meraih apa yang menjadi impian bersama. Target selanjutnya adalah memiliki buah hati. Semoga semesta mengamini :)


Saat ingin belajar setir mobil:
Menjadi wanita tangguh dan mandiri adalah impian. Salah satu indikator wanita mandiri, menurut saya simpel....kemana-mana bisa pergi sendiri :D. Masa sih kita kalah sama pola kemandirian jailangkung yang tiap datang tak dijemput, pulang tak pernah diantar?

Faktor kemandirian juga dipengaruhi lingkungan serta pola pengasuhan. Dari kecil saya cukup dimanjakan oleh orang tua. Mungkin karena saya anak wanita satu-satunya. Sampai jadi mahasiswa, jika lokasi tujuan agak jauh, saya terbiasa diantar ayah dengan mobil tua kebangaan beliau. Atau naik kendaraan umum. Entah, tidak ada niat sedikitpun untuk belajar mengendarai mobil. Melihat teman-teman SMA yang jago nyetir kendaraan roda empat, saya tetap bergeming. "Toh masih ada kendaraan umum, kan?".

Namun keintiman yang telah terjalin selama tahunan dengan angkutan umum, akhirnya tercederai. Selama lima tahun ini, karena tinggal di kabupaten, tiap ingin pergi ke kotamadya yang berjarak tempuh -/+ 1 jam, saya terbiasa menumpang bus. Atau minta suami mengantarkan jika ada waktu luang. Sampai akhirnya peristiwa tidak mengenakkan terjadi. Saya mengalami let's say pelecehan di dalam bus. Padatnya penumpang saat itu membuat beberapa oknum bisa 'sukses' curi-curi kesempatan. Saya pun memilih turun sebelum sampai tujuan.

Sejak saat itu, (kira-kira bulan Maret 2014), motivasi untuk belajar nyetir mobil pun muncul. Orang tua, saat saya sampaikan niat tersebut, mendukung sepenuhnya. Bahkan langsung mentransfer biaya kursus setir mobil ke rekening saya (uhuk-uhuk). Namun, tanggapan berbeda diperlihatkan oleh suami saya yang tiba-tiba mengambil peran sebagai 'pencuri mimpi'. Saat saya minta diajarkan basic skill  mengemudi, dia terlihat ogah-ogahan. Saat saya bersemangat berlatih di lapangan bola, suami sering memberikan komentar yang melemahkan semangat. Misalnya, lebih sering bilang "Ga usah terburu-buru pengen bisa" daripada "Ayo, kamu pasti bisa". Saat saya ingin berlatih bawa mobil sendiri ke kantor, dia selalu melarang. Alasannya, "Kamu belum bisa. Kalau ada apa-apa berabe". Hufth. Gemas sekali rasanya saat itu. Dan kesempatan pun datang. Saat suami sedang tidak enak badan (hanya bisa tiduran seharian), saya nekat bawa mobil ke kantor. Kebetulan saat itu sedang hujan. Nah, nyatanya bisa tuh! 



Saya mulai berlatih menambah jarak tempuh. Nyetir ke rumah mertua yang berlokasi di kabupaten tetangga atau pergi ke kota. Sengaja tidak pamit ke suami, daripada tidak diperbolehkan? Malas juga kalau belum-belum sudah dilarang.

Syukurlah, sekarang suami lebih 'percaya'. Mungkin takut istrinya semakin nekat. Hahahaha. Jika jalan-jalan ke luar kota, saya selama ini terbiasa nyetir sendirian, tanpa teman. Bukannya individualis, pelit atau gimana. Saya hanya tidak enak hati jika teman tidak nyaman dengan cara saya mengemudi. Namanya juga sedang belajar. Apalagi belum-belum ada yang nyeletuk, "Wah, kalau kamu yang nyetir, aku belum siap kenapa-kenapa. Masih pengen hidup". Duile.  Atau ada yang komentar, "Aku mau disetirin kamu kalau kamu udah lima tahun pegang mobil!" (Emangnya cicilan rumah pake nunggu lima tahun??? )

Kadang tanpa disadari, saya (dan mungkin pembaca blog ini) pernah  bertabiat sebagai pencuri mimpi. Kurang memfilter kalimat sehingga terkesan melemahkan atau merendahkan semangat lawan bicara. Pencuri mimpi yang berasal dari orang-orang terdekat (misalkan : pasangan, orang tua, keluarga, sahabat, dll) ada yang benar-benar bersumber dari ketulusan hati. Mereka ingin agar kita berpikir realistis dan tidak ingin melihat kita jatuh tersungkur. Ditilik lebih dalam, mereka sebenarnya  sangat mengasihi kita. Ya, mereka hanya mengkhawatirkan keterpurukan kita seandainya mimpi jauh dari realita. :)

Namun, berbeda jika para pencuri mimpi ini berasal dari orang-orang yang tidak mengenal kita namun paling rajin menggomentari hal-hal negatif tentang kita. Bisa jadi mereka memang punya sifat sirik, iri , dan dengki. Dalam pergaulan, sulit juga menghindari tipikal yang seperti ini.

Pencuri mimpi yang tidak senang  melihat kita sukses harus diwaspadai dengan cerdik. Dimanapun tempatnya sih biasanya penonton selalu merasa lebih pandai dari pada pemain. Jika kita membuat kesalahan, itu hal yang wajar kan? Bukankah manusia tempatnya salah dan lupa? Sepanjang kita selalu berusaha memperbaiki diri, berusaha lebih baik, dan apa yang kita lakukan tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain, kenapa kita mesti risau dengan komentar-komentar si pencuri mimpi?  Sungguh ending yang manis jika kita bisa menjungkirbalikkan demotivasi menjadi motivasi. 

Hmm...semoga saya bisa selalu mengontrol diri dan senantiasa introspeksi.

Don't let someone who gave up on their dreams talk you out of yours. 

 Semangaaaat ^^



(all picts : from Google)






















09 Mei 2014

Sragen Book Fair 2014




Yeee...yeee...yeee, buku-buku bermutu dari Gramedia kembali menyerbu. Jadi nih, dalam rangka menyambut hari jadi kabupaten Sragen yang ke -268, Perpusda Sragen bekerjasama dengan Gramedia Solo Square menghelat bazaar buku bertajuk "Sragen Book Fair 2014"

Acara yang digelar di gedung KNPI Sragen ini dapat dikunjungi tiap hari, mulai tangal 8 Mei hingga 22 Mei 2014. Selain menyediakan buku-buku new release, Gramedia juga memanjakan para book lovers dengan buku-buku best seller dengan diskon fantastis. Bahkan ada buku yang dapat dibawa pulang dengan harga 3.000 rupiah saja! 

Program Sragen Book Fair juga diramaikan dengan acara seru lainnya. Ada pameran batik khas Sragen, Sodaqoh Buku, bahkan para pengunjung juga bisa mengikuti beberapa kompetisi kompetisi menarik, antara lain Lomba Mewarnai, Lomba Mendongeng, Lomba Menghias Celengan, Lomba Penulisan Artikel, dan Lomba Menulis Surat Untuk Bupati Sragen. 

Jadi buat warga Sragen, tunggu apalagi? Monggo segera meluncur ke gedung KNPI dan ajak teman, pacar, gebetan, anak, istri, serta cucu untuk  belanja buku sebanyak-banyaknya. Mari kita bersama-sama wujudkan masyarakat Sragen yang cerdas dan gemar membaca! :)


 The main gate 




Untung ga ada buku yang digeletakin di lantai.(kaya pas pameran yang dulu itu)
 Buku kan juga punya perasaan :D





Harga mulai 3000!



Berbagai genre ditawarkan dalam pameran ini




Budaya gemar membaca memang harus dipupuk sedari dini :)



Kalau temen saya yang ini sepertinya terobsesi buku-buku tentang diet dan food combining :p



"Moga-moga dibeliin ama yayang", desah syahdu gadis berkerudung biru



Penampakan trophy untuk para pemenang lomba


beberapa stand yang meramaikan pameran









09 Maret 2014

Cinta Menyatukan Rasa dan Logika

Dari buku-buku psikologi yang saya kulik, pria sering dideskripsikan bertindak berdasarkan logika. Apapun masalah dan peristiwa yang terekam oleh panca indra ternyata harus diproses di otak dan rupa-rupanya sangat sedikit yang mengendap di hati. Berbeda dengan wanita yang mayoritas 'melakukan' sesuatu dengan perasaan. Peristiwa yang dihadapi sering mengendap di hati, utuh tanpa sensor,  tanpa dirunut logika.


Skema otak pria dan wanita. Nah lhoo!!


Mau yang lebih gamblang? Cekidot yang ini : 





Pria dan wanita. walau satu species, memiliki pola hidup yang “berbeda” begitu juga dalam orientasinya sehari-hari. Species pria sering diidentikkan lebih senang berburu, sedangkan wanita lebih suka berkumpul. Kalau pria cenderung memiliki sifat melindungi, maka wanita memiliki sifat untuk merawat dan mendidik terutama anak-anaknya. Hal tersebut dikarenakan tubuh dan otak mereka memang berbeda tetapi diantara keduanya saling melengkapai satu sama lain. Selain itu, karena pria dan wanita mengolah informasi secara berbeda, maka mereka  berpikir, percaya, dan  memiliki persepsi, prioritas dan perilaku yang berbeda pula. 

Kharakteristik motivasi pria dan wanita
(ciricara.com)

Kalau wanita memiliki pandangan yang "dekat dan melingkar" (peripheral vision), pria justru memiliki pandangan yang lebih "fokus dan jauh" (tunnel vision). Kaum pria lebih sering bertindak dulu baru berpikir tetapi kaum wanita berpikir dulu sebelum bertindak. Pria sebagai seorang "pemburu" membutuhkan fokus, pandangan yang jauh, dan mampu bertindak sebagai navigator . Sedangkan wanita merasa nyaman berada di dalam atau di sekitar tempat tinggalnya, membangun hubungan dengan orang dewasa lain dan anak-anaknya. Sehingga wanita juga dikenal memiliki indra keenam (sixth sense) karena perasaannya itu, sehingga lebih dapat merasakan apabila seseorang berbohong kepadanya. Di lain pihak, pria tidak memiliki lie-detector semacam itu. Sehingga spesies pria juga sering melupakan hal-hal yang detil.


Komunikasi para pria biasanya cenderung berfokus pada fakta-fakta, sedangkan wanita cenderung menekankan pada perasaan di balik fakta-fakta. Pertama kali mendapatkan informasi dan dalam menghadapi suatu permasalahan, pria akan berkecenderungan untuk menggunakan logika, sedangkan wanita cenderung menggunakan perasaan. Contoh sederhana ialah, seorang wanita tidak harus memiliki sejumlah alasan yang logis untuk menangis, karena menurut mereka itu mengungkapkan bahasa perasaannya. Sedangkan bagi pria, logikanya akan mengatakan untuk selalu mencari perbandingan dan alasan untuk menangis.



Hmmm....cocok ga, ya? 

Sterotipe ini tentu berbeda untuk setiap individu. Apalagi jika dikorelasikan dengan profesi yang dijalani. Sebagai contoh, seorang seniman, musisi, penulis cerita, pelukis dan pelbagai pekerjaan di bidang 'art' lainnya memang lebih menonjolkan olah rasa.  Dan ada profesi yang harus sangat kuat untuk menggunakan logika, misalnya: ahli bedah, peneliti, progammer, dsb.  

Prosentase pengunaan logika vs perasaan ternyata tidak hanya cukup dianalisis berdasarkan kodrat ataupun gender karena banyak faktor yang harus dieksplorasi lebih detail. 


Kalau yang ini 100% suami saya pasti setuju! Bhihihihi...

Sebagai penutup, ijinkan saya mengutip postingan akun twitter @Negativisme berikut ini :



Pria lebih memakai logika, perempuan mengandalkan perasaan. Makanya Tuhan hadirkan CINTA utk menyeimbangkan. Bercintalah #FatwaMalam

Adios!!

*dari berbagai sumber 

10 Desember 2013

"The Power of Mepet-Mepet"

Tidak semua kejadian di semesta ini terjadi secara kebetulan. Ada alasan yang berdiri kokoh dibaliknya, entah itu bisa dijelaskan dengan rasio, dirunut melalui logika ataupun hanya bisa diambil hikmahnya saja. Oke. Saya percaya. Dunia ini penuh kemungkinan. Selama Tuhan dan semesta merestui, apapun bisa terjadi. 

Tidak semua momen yang berbau 'mepet-mepet'  selalu membuat suasana tidak nyaman. Justru di detik-detik terakhir, keajaiban sering tersaji. Konteksnya agak berbeda dengan "The Power of Kepepet" nya Jaya Setiabudi. Kata "kepepet' dalam buku tersebut linier dengan keterbatasan kondisi/keadaan namun atas izin dan pertolongan Tuhan, seseorang yang sedang kepepet justru mampu mewujudkan kekuatan maha dahsyat diluar akal sehat dan logika untuk terbebas dari permasalahan maupun bencana. Sedangkan konsep "mepet-mepet" mengacu pada limitasi waktu dan situasi yang saling bersinggungan. Unsur kesengajaan lebih berperan.

Dua premis di atas rupanya nyata saya alami dalam kejadian satu hari, saat berada di Semarang kemarin Minggu. Tentu dalam skala yang sederhana.

Niat nglencer ke kota Loenpia, selain kangen keluarga besar yang berdomisili di sana, juga karena ingin mengikuti acara talk show "Creative Writing" dan "Meet & Greet" bersama Raditya Dika di auditorium Unnes Semarang. Sesuai jadwal yang tercantum di dua tiket yang saya miliki (dua sesi tersebut memang dipisahkan), acara talkshow dimulai dari jam 07.00 wib s/d 12.00 wib, sedangkan Meet & Greet (M&G) dimulai tepat pukul 01.00 wib.



Leaflet Meet & Greet


Awalnya tidak ada kendala, Sabtu pagi saya sudah menyiapkan 10 buku (koleksi pribadi) tulisan Raditya Dika ke dalam tas ransel untuk 'diangkut paksa' ke Semarang. Niatnya untuk dimintakan ttd di sesi book signing nantinya. 

Anyway, dua minggu sebelumnya, saya sudah pernah mengikuti talkshow Raditya Dika bertema serupa di auditorium UNS Solo. Hanya saja sedikit kecewa karena panitia tidak menyediakan sesi book signing. Padahal effort untuk datang sepertinya sudah cukup mengharu biru. Naik bus umum dari terminal, masih pakai seragam kantor berupa blazer yang panasnya ngaujubileh plus sepatu boot rawan encok, dan dilengkapi dengan tas ransel segede kutil robot gundam yang isinya tentu saja buku-buku tulisan Raditya Dika. Apa daya, semua itu sia-sia. Panitia hanya mengalokasikan "kesempatan" untuk 20 peserta yang membeli buku di stand Gramedia (berlokasi di luar auditorium). Daripada pulang dengan tangan hampa, saya memutuskan membeli (lagi) 1 buku "Manusia Setengah Salmon". Bagi pecinta buku, memiliki buku bertandatangan asli penulisnya bisa dijadikan aset investasi di hari tua. Huehehe. 

Back to the topic, dunia ini penuh dengan segala kemungkinan dan juga godaan. Oh, niat tulus yang terpatri untuk menghadiri talkshow "Creative Writing with Raditya Dika" tiba-tiba goyah saat menemukan leaflet ini :





Penampakan leaflet acara Bedah Buku "Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin" (Tere Liye) sontak "menggalaukan" jiwa. Jadwal yang bertubrukan dengan talkshow Raditya Dika membuat saya harus menentukan pilihan di menit-menit terakhir. Minggu pagi, saya ambil jalan tengah. Saya ikut bedah buku Tere Liye terlebih dahulu (jam 07.00 s/d jam 12.00 wib), baru kemudian jam 12.00 wib meluncur ke Unnes untuk mengikuti M&G Raditya Dika. Toh, saya sudah pernah mengikuti talkshow Raditya Dika sebelumnya. Toh (again!), saya hanya bertekad sederhana, ingin mendapatkan ttd penulisnya which is hanya bisa didapatkan saat sesi M&G.

Keputusan 'mepet-mepet' tersebut tentu beresiko. Terlambat sedikit, saya gagal 'ketemuan' dengan Raditya Dika mengingat alokasi waktu M&G hanya satu jam. Well, setiap pilihan bukankah ada resikonya masing-masing?

Dan, di hari Minggu yang syahdu, terdamparlah saya di lokasi Bedah Buku, Balaikota Semarang, tepat jam tujuh pagi yang MEMANG terlalu pagi. Lumayan, bisa dapat tempat duduk paling depan.


I'm ready, pals!

Venue yang ideal dan nyaman. Love it!




Darwis Tere Liye dan moderator




Penulis ini paling anti berfoto bersama pengemarnya, kecuali jika kita berusia di bawah 14 tahun! :))



Ada beberapa konklusi menarik yang disampaikan Tere Liye mengenai pemahaman 'tersembunyi' dalam novel "Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin" (DYJTPMA). Ya..., moral value yang sering luput dari benak pembaca yang terlanjur dimanjakan imaji dan tercabik emosi saat mengikuti narasi kehidupan Tania sang tokoh sentral dengan polemik cinta terpendamnya kepada Danar, sosok 'malaikat' dalam keluarga (yang belum connect, monggo dibaca novelnya).  Beberapa poin pada DYJTPMA tersebut antara lain:


  • Kekuatan "Bilang Tidak"
  • Hakikat Menunggu"
  • Hakikat "Berharap":  
          1. Kita tidak tahu mana yang baik dan mana yang buruk
          2. Yang terpenting bukan pada hasil melainkan proses
          3. Berharaplah kepada yang Maha, segala tempat dan semua pengharapan bermuara
  • Wisdom "Pergi:
          1. Kadangkala dengan pergi kita bisa tahu apakah itu cinta sejati maupun bukan
          2. Tinggalkan seseorang yang kita cintai ataupun (katanya) mencintai kita apabila ia tidak serius. Waktu dan jarak akan membuktikan itu semua.   

  • Hakikat "Memiliki" 
  • Kehormatan sebuah perasaan
  • Cinta sejati selalu datang pada saat, waktu, dan tempat yang tepat

Bang Tere lebih sering memilih turun dari stage agar tak berjarak dengan peserta

Selalu 'bernafsu' di sesi pembagian doorprize :p




Buku "Negeri Para Bedebah" yang saya beli di lokasi dan ditandatangani Tere Liye
Kalau yang ini saya dapatkan di acara seminar bersama Tere Liye di Solo, beberapa bulan yang lalu




Sukaaaaa dengan quote ini :)

Jam 11.00 wib, Tere Liye menuntaskan sesi tanya jawab. Artinya, acara inti sudah terpungkasi. Sebagai penutup, sembari menikmati lunch, peserta dimanjakan dengan berbagai hiburan yang sudah dipersiapkan panitia. Saya memutuskan untuk berkemas dan bersiap-siap menuju Unnes, karena siapa tahu masih kebagian talkshow Raditya Dika. Hasil pantauan di twitter sih acaranya molor. Tepat jam 11.30 wib, diantar sang Brama Kumbara alias suami tercinta, saya meluncur ke TKP. Estimasi waktu yang dibutuhkan dari Balaikota menuju Unnes-Sekaran adalah 30 menit.

Sampai di auditorium Unnes, sekitar pukul 12.00 wib,  terlihat Raditya Dika sedang berpamitan kepada audience. Ruangan yang dijejali 1.800 peserta mendadak penuh jerit histeria para fans penulis gaul ini. Banyak kursi kosong di deretan belakang karena para empunya sudah berlarian ke depan panggung guna mengabadikan momen. Saya mencoba tidak terpancing dan membuang jauh-jauh rasa kecewa karena ketinggalan talk show. Resiko ini sudah saya perhitungkan sebelumnya. Justru bersyukur karena masih ada sisa waktu satu jam buat leyeh-leyeh menunggu sesi M&G.

Baru lima menit berada di auditorium, terdengar pengumuman dari panitia bahwa peserta M&G diminta menuju ke ruang VIP karena acara segera dimulai. Saya bengong sambil sekilas melirik jam tangan. Laah..katanya M&G jam 13.00? Eh, bukan sekedar katanya, memang tercantum dalam tiket dan sms gateway kalau M&G dimulai tepat jam satu siang. Ini kok maju satu jam? 

Tergesa mengambil tiket yang terselip di dompet, saya pun memasuki ruang VIP yang dimaksud. Oooh..., si Dika udah duduk manis di kursi. Sementara karpet yang digelar di depannya (untuk lesehan peserta M&G) baru terisi satu orang. Panitia kembali memberikan warning pada peserta untuk tidak memotret karena sudah ada tim tersendiri yang akan mengabadikan sesi foto bersama. Oke..oke.

Dan, segera saya keluarkan semua harta karun. Jika yang lain rata-rata maksimal hanya bawa empat buku, saya dengan nistanya bangganya menjinjing sepuluh buku. 
Curi-curi jepret pake hape

Sebanyak 60 orang peserta M&G, yang disebut Dika sebagai "kalian yang punya modal lebih" diminta antre satu persatu untuk foto bareng. Karena saya tampaknya menjadi peserta manula (yang lain ABG semua!), sikap dan wibawa berusaha saya perlihatkan agar menjadi suri tauladan para generasi muda penerus cita-cita kemerdekaan bangsa. *hoek!!*


Diantara para peserta M&G. Gurat penuaan kelelahan di wajah mulai terlihat. 


Sesi tanya jawab yang memancing histeria. 



Jika beberapa peserta banyak yang tidak tahan untuk memeluk ataupun mencubit si Dika (sampai diamankan panitia), yah..saya berusaha bersikap wajar dan sedikit jaim. Iyalah ..., daripada disambit suami!


Tukang potretnya kurang kompak iiih. Ngga pakai aba-aba dulu. Wajah terlihat aneh :'(


Sepuluh buku udah beres. Oh iya, poster dan t-shirt itu dari panitia. Minat? PM yak.  :p

Meet & Greet ditutup dengan sesi tanya jawab. Dan acara yang dikemas kurang dari satu jam ini tentu saja terasa singkat. Beberapa peserta berbisik sinis, "Duit 150 rebu cuma segini doang? Cepet amat 'tanya jawab' nya?". Hihihi..hati ini pun turut mengamini. Kalau dipikir sih memang begitu adanya. Sesi tanya jawab memang terlalu singkat sehingga banyak peserta yang tidak mendapat kesempatan untuk bertanya. Panitia hanya mengakomodir empat penanya. Setelah usai, Raditya Dika pun melenggang begitu saja. Alhasil banyak fans yang kecewa kurang bisa berlama-lama dengan sang idola. 

Saat menghampiri suami yang sudah standby di luar auditorium, ada beberapa remaja yang terlihat memasuki venue. Rupanya mereka adalah pemegang tiket M&G yang baru datang. Mereka mengira acara  belum dimulai karena sesuai jadwal yang tercantum sesi M&G dimulai pada pukul 13.00 wib. Menurut saya, itu bukan 100% kekhilafan peserta. Bukankah mereka datang sebelum pukul 13.00 serta tidak ada pemberitahuan bahwa ternyata jadwal acara dimajukan?

Dan..., saya tidak tega menyaksikan 'episode' selanjutnya. Saat panitia menghampiri mereka dan mengatakan bawa Raditya Dika sudah meninggalkan lokasi beberapa menit yang lalu. Panitia mengklaim bahwa ini di luar wewenang mereka karena pihak manajemen Raditya Dika-lah yang meminta perubahan jadwal. 


Saya hanya tertegun. Dalam hal ini,  Siapa yang layak disalahkan? Siapa yang tidak profesional? Siapa yang dirugikan? Apakah uang 150 ribu bisa menebus harapan?